TEMPO.CO, Jakarta - Ery Wardhana tengah gundah. Bekas pegawai PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) khawatir jika rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir membubarkan 14 perusahaan pelat merah yang keuangannya tidak sehat benar-benar direalisasikan.
Ery cemas akan nasib pembayaran hak solvabilitas para mantan pegawai dan pensiunan maskapai nasional itu yang hingga kini tak jelas juntrungannya. Sebab, meskipun hingga kini pemerintah belum mengumumkan daftar perusahaan yang bakal dibubarkan, nama Merpati acap kali disebut sebagai perusahaan yang keuangannya bermasalah.
"Sekarang makin waswas," ujar Ery yang juga menjadi Ketua Tim Dobrak Merpati itu kepada Tempo, Rabu, 30 September 2020.
Sejak Merpati Nusantara Airlines bangkrut pada 2014 dan memutuskan setop operasi, yayasan Merpati yang membidangi dana pensiunan memang ikut gulung tikar. Alasan pembubaran Yayasan Dana Pensiun ini adalah ketidakmampuan manajemen dalam membayarkan iuran.
Musababnya, dana pensiun dihimpun dari iuran perusahaan sebesar dua per tiga persen dan iuran karyawan yang dipotong dari gaji sebesar sepertiga persen. Kala itu, perusahaan bahkan telah memiliki utang kewajiban iuran kepada Yayasan sebesar Rp 14 miliar.
Dengan kondisi tersebut, seluruh hak pensiun yang seharusnya diterima oleh purnabakti dan karyawan yang terkena kebijakan PHK, yang jumlahnya mencapai 1.748 orang, pun dialihkan menjadi hak solvabilitas. Berdasarkan hitungan aktuaria, total nilai solvabilitas milik pemegang hak dana ini mencapai Rp 96,4 miliar.
Dari angka itu, sebesar Rp 48 miliar telah dibayarkan sedari 2014 dari hasil penjualan aset-aset anak usaha Merpati. Artinya, berdasarkan nilai perhitungan aktuaria, Merpati masih memiliki kewajiban pembayaran hak solvabilitas sebesar Rp 48,4 miliar.
Hingga kini, pembayaran hak-hak pegawai masih belum pernah dibicarakan lagi dengan pihak-pihak terkait. Dengan situasi sekarang ini, Ery mengatakan para mantan pegawai posisinya sangat terjepit dan tidak bisa bergerak lagi secara hukum. Sehingga, mereka hanya bisa pasrah dan berharap haknya tidak hilang dan bisa segera dibayarkan.
"Selama ini kami hanya dijanjikan oleh personel-personel dari mereka ini sedang diperjuangkan insya Allah enggak hilang. Kalau secara legalitas kan sudah terbungkus PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Kalau PKPU enggak bergerak dan Merpati enggak terbang, maka tidak akan mungkin dibayarkan. Itu sesuai PKPU dan aturan," ujar Ery.
Pernyataan Erry menanggapi rencana Menteri Erick Thohir membubarkan 14 perusahaan pelat merah sebagai bagian dari rencana perampingan jumlah perseroan milik negara. Rencana tersebut merupakan hasil analisis kementerian terhadap kondisi keuangan dan operasional di setiap perusahaan. "Ini akan membuat BUMN menjadi ramping," ujar Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, dalam sebuah webinar, Senin, 28 September 2020.
Dari analisis tersebut, Arya juga mengatakan bahwa 41 BUMN akan dipertahankan dan dikembangkan, 34 perseroan akan dikonsolidasikan atau dimerger, serta 19 perusahaan akan dikelola atau dimasukkan ke dalam PPA.